Menghisab
Diri ( Muhasabah)
Islam mengajar umatnya supaya meningkatkan kualiti
hidup dari hari ke sehari. “ hari ini lebih baik pada semalam, esok lebih baik
pada hari ini”. Inilah diantara prinsip hidup yang di anjurkan supaya kita
sentiasa meningkatkan kualiti hidup samada dari segi kehidupan dunia dan juga
amalan untuk bekalan akhirat.
Untuk melihat sejauh mana kita telah dapat
tingkatkan kualiti kehidupan kita seharian perlu kepada perbuatan untuk “MENGHISAB
DIRI”. Kebiasaanya menghisab diri dilakukan pada masa seseorang hendak tidur
pada setiap malam kerana pada masa itu adalah masa terakhir bagi segala aktivit
yang dilakukan pada hari berkenaan. Dengan membuat audit diri ini kita dapat
nilai sejauh mana perubahan-perubahan kebaikan dalam meningkatkan kualiti hidup
kita.
Firman Allah yang bermaksud: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS.Al-Hasry(59):18).
Ayat
diatas adalah ayat yang memerintah agar kita ’, muhasabah atau menghisab diri atas
apa yang telah kita lakukan selama hidup di dunia ini. Ini adalah hal yang
sangat penting kerana jika tidak di hitung kita akan leka dengan kehidupan
dunia tetapi lalai dengan keperluan untuk akhirat. Terutamanya pada masa ini
yang begitu ramai mengaggungkan kebendaan dunia.
Hidup
pada zaman sekarang, jika tidak
berhati-hati dalam memilih kawan, amat berpotensi ‘lupa diri’. Lupa bahwa
kehidupan dunia hanya sementara. Lupa bahwa ada kehidupan setelah kematian,
yaitu kehidupan akhirat..Lupa bahwa kita, semua manusia, adalah hanya hamba
yang mendapat tugas maha berat, yaitu tugas ke-khalifahan, dari Yang
Menciptakan kita. Lupa bahwa tugas tersebut harus dipertanggung-jawabkan kepada
Penciptanya.
Padahal
Allah swt menciptakan kita ini sebagai mahluk terbaik di dunia. Untuk itu kita
diberi tugas agar menjadi khalifah bumi. Agar membangun peradaban dunia yang
aman, tenteram dan damai dengan landasan ketakwaan kepada-Nya, Allah Azza wa
Jalla. Yaitu dengan menjalankan hukum-hukum-Nya bukan menentang hukum-Nya, malah menyembunyikannya. Bahkan wajib kita
memperlihatkan nikmat dan kebesaran-Nya kepada semesta alam. Inilah puncak
ketakwaan yang sebenarnya.
“Dan
terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur)”.(QS.Adh-Dhuha(93):11).
Ironisnya,
tidak jarang pula kita lupa bahwa waktu kita sangat terbatas. Bahawa suatu
waktu Sang Khalik dapat memanggil kita, tanpa adanya pemberitahuan. Kerana
semua yang pergi pasti akan kembali, yang terlahir ke dunia yang fana ini pasti
bakal meninggalkannya kembali, menuju asal. Dari tanah kembali ke tanah
.
”Sesungguhnya
kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah
menghisab mereka.” (QS.Al-Ghasiyah(
88): 25-26).
Bersamaan
dengan berhentinya kehidupan kita di dunia makan dimulailah waktu perhitungan
atau pertanggung-jawaban. Apa saja yang telah kita kerjakan selama di hidup di
dunia, bagaimana kita menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati kita.
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”. (QS.Al-Isra(17):36).
Ali
bin Abu Thalib ra berkata, ”Dunia itu selalu bergerak menjauh dari kehidupan
manusia sedangkan akhirat selalu bergerak mendekatinya. Masing-masing dari
keduanya mempunyai budak yang setia kepadanya. Maka, jadilah kamu sekalian
sebagai budak akhirat dan janganlah kamu sekalian menjadi budak dunia.
Sesungguhnya di dunia inilah tempat beramal dan tidak ada penghisaban sedangkan
di akhirat nanti adalah saat penghisaban dan bukan tempat beramal.”
”Orang
yang cerdik adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal
untuk kehidupan setelah mati sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang
dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah
tanpa melakukan apa-apa.” (HR Tirmidzi).
Untuk
itulah, melalui ayat 18 surat Al-Hasry diatas Allah swt mengingatkan kita untuk
menghisab diri kita sebelum datang penghisaban yang sebenarnya. Allah swt
bahkan memberi kita kesempatan seluas-luasnya untuk bertaubat. Dengan catatan,
kita bertaubat secara sungguh-sungguh atau taubat nasuha, bukan
taubat-taubatan, taubat yang dilakukan secara bermain-main.
“Dan
orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia
bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya”.(QS.Al-Furqon(25):71).
Jadi
taubat yang diterima oleh-Nya adalah taubat yang dilakukan kerana rasa
penyesalan yang dalam, yang kemudian diikuti dengan perbuatan yang dapat
menebus atau memperbaiki kesalahan yang diperbuatnya, bila memungkinkan. Namun
bila tidak mungkin, maka ia akan berbuat sebaik mungkin dengan harapan Sang
Khalik mau memaafkan kesalahan tersebut. Yang terus menerus berdoa dengan
harapan Allah Azza wa Jalla memaklumi kesalahan sekaligus mempunyai rasa cemas
Ia tidak reda memaafkan kesalahan tersebut.
Kesalahan
bukan hanya kesalahan besar, seperti pembunuhan, perzinaan dan sebagainya. Sebalikya
boleh berlaku kesalah terhadap solat kita, bila dilakan kerana riak dan ingin
menunjuk-menunjuk kepada orang, maka kita kana jadi manusia yang kagum diri
sendiri atau orang yang riak.
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang solat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari solatnya,
yaitu orang-orang yang berbuat riya”.
(QS.Al-Maaun(107) :4-6).
Kesalahan
lain adalah kesyirikan dan kekafiran. Ini adalah dosa terbesar yang hampir
tidak dapat diampuni bila tidak segera bertaubat. Harus diingat, Allah swt
tidak akan menerima taubat yang dilakukan ketika nyawa telah di kerongkongan,
seperti yang dilakukan Fir’aun beribu-ribu tahun yang silam.
«
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan
kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka,
(barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang” Dan tidak (pula
diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi
orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih ».(QS.An-Nisa(4) :18).
Yang
juga harus menjadi catatan. Perhitungan tidak hanya atas apa yang kita lakukan
terhadap-Nya. Namun juga perbuatan kita terhadap sesama manusia dan lingkungan
sekitar kita. Malah tampaknya prilaku kita kepada sesama lebih sulit
dipertanggung-jawabkan dari pada prilaku kepada Allah, kerana sesuai dengan
nama-Nya, Ia Maha Pemberi Maaf. Sementara manusia biasanya payah untuk memberi
kemaafan.
“Shadaqah
–hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah swt menambah seorang
hamba kerana memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati
(tawadhu’) kerana Allah swt melainkan diangkat oleh Allah swt.” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah ).
Dari
Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang muflis dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) solat, puasa
dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan
harta orang lain, menyakiti orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan
pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah
habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan
dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR.
Muslim).
Orang
yang paling penting kita perhatikan adalah kedua orang-tua kita. Jangan sampai
kita menyakiti mereka apapun alasannya. Bahkan ketika mereka lalai diingatkan
dalam ketakwaan, misalnya. Diperlukan cara yang santun dalam memberi teguran
kepada mereka/
Selanjutnya
adalah jiran tetangga, baik jiran tetangga
tersebut Muslim ataupun tidak. Kerana bagaimanapun mereka tetap memiliki hak
sebagai tetangga. Kita harus pandai menjaga lidah agar tidak menyakiti hati
siapapun. Kerana lidah itu bagaikan pedang yang payah untuk diperbaiki jika
kita salah gunakannya. Fitnah dan mengandu domba adalah perbuatan yang amat
patut harus dihindari.
“Dan
janganlah sebagian kamu mengumpat sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubah lagi Maha Penyayang,”
(Al-Hujarat: 12).
“Apabila
apa yang kamu katakan itu memang ada pada dirinya berarti engkau telah
mengumpat dan apabila apa yang katakan itu tidak benar berarti kamu telah
memfitnahnya,” (HR Muslim [2589]).
Dengan
kata lain muhasabah diperlukan antara lain :
1.
Untuk mengingatkan kembali kedudukan kita di dunia ini, yaitu sebagai hamba
Allah sekaligus juga khalifah bumi. Oleh kerananya muhasabah bukan berarti
meninggalkan kehidupan duniawi. Justru sebaliknya, yaitu meningkatkan amal
kehidupan duniawi demi sebagai bekal kehidupan akhirat. Dunia adalah ladang
akhirat. Jadi apapun ilmu yang kita tuntut atau pekerjaan yang kita jalani
harus sesuai dengan keinginan-Nya. Sentaiasa mematuhi syariat Allah.
Rasulullah
pernah bersabda :” Siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup dunia, harus dengan
ilmu, dan siapa yang menghendaki kebahagian akhirat harus dengan ilmu dan
barang siapa yang menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat) juga
harus dengan ilmu. (HR Tabrani).
2.
Memperbaiki sekaligus meningkatkan amal ibadah kita. Dari yang tidak solat
menjadi solat, dari yang solat tidak 5 waktu menjadi 5 waktu dan di awal waktu,
menambah solat-solat sunnah seperti solat rawatib, witir, tahajud dll. Atau solat
berjamaah di masjid, terutama bagi lelaki ketika solat Subuh dan Isya. Membaca
Al-Quran dan mengkhatamkannya, dari khatam hanya dalam bulan Ramadhan, khatam 2
x setahun hingga khatam tiap bulan. Dari berpuasa hanya di bulan Ramadhan,
hingga menambah dengan puasa-puasa sunnah seperti puasa senin-khamis dll.
3.
Memperbaiki akhlak dan silaturahmi.
Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”;“Agama adalah
akhlak yang baik”;“Seorang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling
sempurna ahklaknya”;“Rasulullah ditanya:“Apa yang paling banyakmengantarkan
manusia ke surga ?”. Rasulullah menjawab:“Akhlak yang baik”;“Apa yang paling
banyak mengantarkan manusia ke neraka?”. Rasulullah menjawab: “Mulut dan
kemaluan”. (HR Tarmidzi).
4.
Mengingatkan umur yang terbatas.
“Dan
Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan
pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk
disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu
kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan”.(QS.Al-An’am(6):60).
Dengan
demikian ketika kelak datang hari penghisaban yang sesungguhnya, Allah akan
memudahkan segala urusan. Itulah orang-orang yang diberikan kitab catatan
amalnya dari sebelah kanannya.
‘Adapun
orang yang diberikan kitab (catatan) amalnya dari sebelah kanannya, maka ia
akan dihisab dengan penghisaban yang mudah.”
(QS.Al-Insyiqaq(84):7-8).
Dari
Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan
bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang lima
perkara: umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya ke mana dipergunakannya,
hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya
sejauh mana pengamalannya.” (HR. Turmudzi).
Namun
harus diingat, sebesar apapun amal seseorang sesungguhnya tidak mungkin kita
mampu membalas kasih sayang Sang Khalik. Sama halnya dengan mustahilnya seorang
anak membalas kasih sayang ke dua orangtuanya. Kerana hanya berkat rahmat-Nya
jua seseorang bisa masuk surga.
“Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan
rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha
Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan)”.(QS.An-Nuur(24:10).
Wallahu’alam
bish shawwab.
Sumber: Vien AM
0 comments:
Post a Comment